RESIKO PERNIKAHAN DINI
Maraknya
pernikahan dini yang dialami remaja puteri berusia di bawah 20 tahun ternyata
masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Tema pernikahan dini
bukan menjadi suatu hal baru untuk diperbincangkan, padahal banyak risiko yang
harus dihadapi mereka yang melakukannya.
Pernikahan dini
dikaitkan dengan waktu, yaitu sangat awal. Bagi orang-orang yang hidup abad 20
atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-16 tahun atau pria
berusia 17-18 tahun adalah hal yang biasa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu
merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau pria
sebelum 25 tahun dianggap tidak wajar.
Tapi hal itu
memang benar adanya, remaja yang melakukan pernikahan sebelum usia biologis
maupun psikologis yang tepat rentan menghadapi dampak buruknya.
Banyak efek
negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk
menghadapi tanggung jawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal
kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk
menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak.
Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan
permasalahan secara matang. Selain itu, remaja yang menikah dini baik secara
fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak. Sehingga
kemungkinan anak dan ibu meninggal saat melahirkan lebih tinggi. Idealnya
menikah itu pada saat dewasa awal yaitu sekira 20-sebelum 30 tahun untuk
wanitanya, sementara untuk pria itu 25 tahun. Karena secara biologis dan psikis
sudah matang, sehingga fisiknya untuk memiliki keturunan sudah cukup matang.
Artinya risiko melahirkan anak cacat atau meninggal itu tidak besar.
Unsur biologis
juga lebih dinomorsatukan daripada segi psikologis. Mengapa? Karena kematangan
psikologis itu tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah
berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi
pikirannya sudah dewasa. Kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama
karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari.
Setiap wanita
beresiko tinggi terkena kanker leher rahim atau serviks tanpa memandang usia
maupun gaya hidup. Yayasan Kanker Indonesia (YKI) pun mencatat kasus baru.
Sebanyak 40-45 orang per hari terkena kanker. Dengan resiko kematian mencapai
separoh lebih. Atau setiap satu jam, seorang wanita meninggal karena mengindap
serviks.
Kanker leher
rahim merupakan masalah kesehatan yang tidak hanya mengganggu fisik dan
kehidupan seksual saja. Tetapi juga mengganggu psikologis.
Pernikahan dini
salah satu penyebab utama terjadinya kanker leher rahim pada wanita. Perempuan yang menikah dibawah umur 20 th
beresiko terkena kanker leher rahim. Pada masa transisi (remaja, Red) sel-sel
leher rahim belum matang, rawan akan terjadinya infeksi saat berhubungan suami
istri. Tidak itu saja, terlalu sering melahirkan, kontrasepsi oral jangka
panjang dan kurangnya perawatan kebersihan juga berpeluang terkena serviks.
Sebenarnya,
kanker leher rahim sendiri dapat dihindari oleh kaum wanita dengan melakukan
pemeriksaan secara rutin untuk deteksi dini. Sebagai upaya pencegahan sekunder.
Serta melakukan vaksinasi HPV sebagai upaya pencegahan primer.
Kanker leher
rahim dapat disembuhkan asalkan ditemukan pada stadium dini. Kenyataan yang
terjadi kasus serviks ditemukan pada stadium lanjut. Sehingga sulit
disembuhkan, bahkan berujung pada kematian.
Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, menyarankan kaum muda
untuk menghindari pernikahan usia dini guna menghindari kemungkinan terjadinya
resiko kanker leher rahim (Kanker Serviks) pada pasangan istri. Pernyatan itu
disampaikan Kepala BKKBN dr Sugiri Syarief, MPA dalam kegiatan program KB
Nasional yang berlangsung di Hotel Horizon, Kota Bekasi, Jawa Barat.
"Menikah terlalu muda bisa menjadi pemicu timbulnya kanker leher rahim,
yang menjadi urutan pertama penyebab kematian diantara jenis-jenis kanker yang
ada, masyarakat disarankan memberi jarak kehamilan untuk memiliki anak. Selain
itu juga penting untuk kaum ibu melakukan pemeriksaan rutin untuk mengetahui
bagaimana kondisi reproduksinya," katanya.
Program
Keluarga Berencana (KB) dan pencegahan kanker leher rahim berjalan seirama.
Program KB memiliki tujuan untuk membatasi jumlah anak sekaligus memberikan
pengetahuan bagaimana menjaga kesehatan reproduksi.
Berdasarkan
data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Penyebab kanker leher rahim 90 persen
karena virus yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab diantaranya, menikah
muda, melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti, dan
perempuan perokok.
BKKBN, kata
Sugiri Syarief, saat ini tengah menggalakkan program KB pada pasangan usia
subur, utamanya yang baru menikah agar mengetahui apa fungsi keluarga.
Sehingga, program KB tidak hanya bersifat konsultasi mengenai alat kontrasepsi,
dan kegiatan reproduksi tetapi lebih bersifat penanaman budaya untuk generasi
muda tentang betapa pentingnya keluarga dan manfaat KB.
Selama tahun 2009,
BKKBN telah menjalankan sejumlah program kesehatan reproduksi remaja
diantaranya, pembentukan Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi
Remaja (PIK-KRR).
Program PIK-KRR
merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, sikap, dan prilaku
positif remaja tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi, serta meningkatkan
drajat reproduksinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar